Cerita Sex Kisah Dari Ibu Ibu Sange
- Sebenarnya saya malu untuk menuliskan cerita ini, tetapi karena sudah
banyak yang menggunakan media ini untuk menuliskan cerita-cerita
tentang seks walaupun saya sendiri tidak yakin apakah itu semuanya fakta
atau fiksi belaka. Memang cerita yang saya tulis ini cukup memalukan
tetapi di samping itu ada kejadian yang lucu dan memang sama sekali
belum pernah saya alami.
.jpg)
Awal
mula dari cerita ini adalah ketika saya baru saja tinggal di sebuah
daerah perumahan yang relatif baru di daerah pinggiran kota-maaf, nama
daerah tersebut tidak saya sebutkan mengingat untuk menjaga nama baik
dan harga diri keluarga terutama suami dan kedua anak saya. Saya tinggal
di situ baru sekitar 6 bulanan.
Karena daerah perumahan tersebut
masih baru maka jumlah keluarga yang menempati rumah di situ masih
relatif sedikit tetapi khusus untuk blok daerah rumah saya sudah lumayan
banyak dan ramai. Rata-rata keluarga kecil seperti keluarga saya juga
yaitu yang sudah masuk generasi Keluarga Berencana, rata-rata hanya
mempunyai dua anak tetapi ada juga yang hanya satu anak saja.
Sudah
seperti biasanya bila kita menempati daerah perumahan baru, saya dengan
sengaja berusaha untuk banyak bergaul dengan para tetangga bahkan juga
dengan tetangga-tetangga di blok yang lain. Dari hasil bergaul tersebut
timbul kesepakatan di antara ibu-ibu di blok daerah rumahku untuk
mengadakan arisan sekali dalam sebulan dan diadakan bergiliran di setiap
rumah pesertanya.
Suatu ketika sedang berlangsung acara arisan
tersebut di sebuah rumah yang berada di deretan depan rumahku, pemilik
rumah tersebut biasa dipanggil Bu Soni (bukan nama sebenarnya) dan sudah
lebih dulu satu tahun tinggal di daerah perumahan ini daripada saya. Bu
Soni bisa dibilang ramah, banyak ngomongnya dan senang bercanda dan
sampai saat tulisan ini aku buat dia baru mempunyai satu anak,
perempuan, berusia 8 tahun walaupun usia rumah tangganya sudah 10 tahun
sedangkan aku sudah 30 tahun. Aku menikah ketika masih berusia 22 tahun.
Suaminya bekerja di sebuah perusahaan swasta dan kehidupannya juga bisa
dibilang kecukupan.
Setelah acara arisan selesai saya masih tetap
asyik ngobrol dengan Bu Soni karena tertarik dengan keramahan dan
banyak omongnya itu sekalipun ibu-ibu yang lain sudah pulang semua. Dia
kemudian bertanya tentang keluargaku, "Jeng Mar. Putra-putranya itu
sudah umur berapa, sih, kok sudah dewasa-dewasa, ya?" (Jeng Mar adalah
nama panggilanku tetapi bukan sebenarnya) tanya Bu Soni kepadaku.
"Kalau yang pertama 18 tahun dan yang paling ragil itu 14 tahun. Cuma
yaitu Bu, nakalnya wah, wah, waa.. Aah benar-benar, deh. Saya, tuh, suka
capek marahinnya."
"Lho, ya, namanya juga anak laki-laki. Ya, biasalah, Jeng."
"Lebih nikmat situ, ya. Anak cuma satu dan perempuan lagi. Nggak bengal."
"Ah, siapa bilang Jeng Mar. Sama kok. Cuma yaitu, saya dari dulu, ya,
cuma satu saja. Sebetulnya saya ingin punya satu lagi, deh. Ya, seperti
situ."
"Lho, mbok ya bilang saja sama suaminya. ee.. siapa tahu ada
rejeki, si putri tunggalnya itu bisa punya adik. Situ juga sama suaminya
kan masih sama-sama muda."
"Ya, itulah Jeng. Papanya itu lho, suka
susah. Dulu, ya, waktu kami mau mulai berumah tangga sepakat untuk punya
dua saja. Ya, itung-itung mengikuti program pemerintah, toh, Jeng. Tapi
nggak tahu lah papanya tuh. Kayaknya sekarang malah tambah asik saja
sama kerjaannya. Terlalu sering capek."
"O, itu toh. Ya, mbok diberi
tahu saja kalau sewaktu-waktu punya perhatian sama keluarga. 'Kan yang
namanya kerja itu juga butuh istirahat. Mbok dirayu lah gitu."
"Wah,
sudah dari dulu Jeng. Tapi, ya, tetap susah saja, tuh. Sebenernya ini,
lho, Jeng Mar. Eh, maaf, ya, Jeng kalo' saya omongin. Tapi Jeng Mar
tentunya juga tau dong masalah suami-istri 'kan."
"Ya, memang. Ya,
orang-orang yang sudah seperti kita ini masalahnya sudah macem-macem,
toh, Bu. Sebenarnya Bu Soni ini ada masalah apa, toh?"
"Ya, begini
Jeng, suami saya itu kalo' bergaul sama saya suka cepet-cepet mau
rampung saja, lho. Padahal yang namanya istri seperti kita-kita ini 'kan
juga ingin membutuhkan kenikmatan yang lebih lama, toh, Jeng."
"O, itu, toh. Mungkin situ kurang lama merayunya. Mungkin suaminya butuh variasi atau model yang agak macem-macem, gitu."
"Ya, seperti apa ya, Jeng. Dia itu kalo' lagi mau, yang langsung saja.
Saya seringnya nggak dirangsang apa-apa. Kalo' Jeng Mar, gimana, toh?
Eh, maaf lho, Jeng."
"Kalo' saya dan suami saya itu saling
rayu-merayu dulu. Kalo' suami saya yang mulai duluan, ya, dia biasanya
ngajak bercanda dulu dan akhirnya menjurus yang ke porno-porno gitulah.
Sama seperti saya juga kalau misalnya saya yang mau duluan.""Terus apa
cuma gitu saja, Jeng."
"O, ya tidak. Kalo' saya yang merayu,
biasanya punya suami saya itu saya pegang-pegang. Ukurannya besar dan
panjang, lho. Terus untuk lebih menggairahkannya, ya, punyanya itu saya
enyot dengan mulut saya. Saya isep-isep."
"ii.. Iih. Jeng Mar, ih. Apa nggak jijik, tuh? Saya saja membayangkannya juga sudah geli. Hii.."
"Ya, dulu waktu pertama kali, ya, jijik juga, sih. Tetapi suami saya
itu selalu rajin, kok, membersihkan gituannya, jadi ya lama-lama buat
saya nikmat juga. Soalnya ukurannya itu, sih, yang lumayan besar. Saya
sendiri suka gampang terangsang kalo' lagi ngeliat. Mungkin situ juga
kalo' ngeliat, wah pasti kepengen, deh."
"Ih, saya belon pernah, tuh, Jeng. Lalu kalo' suaminya duluan yang mulai begimana?"
"Saya ditelanjangi sampai polos sama sekali. Dia paling suka
merema-remas payudara saya dan juga menjilati putingnya dan kadang
lagaknya seperti bayi yang sedang mengenyot susu.", kataku sambil ketawa
dan tampak Bu Soni juga tertawa.
"Habis itu badan saya dijilati dan
dia juga paling suka menjilati kepunyaan saya. Rasanya buat saya, ya,
nikmat juga dan biasanya saya semakin terangsang untuk begituan. Dia
juga pernah bilang sama saya kalo' punya saya itu semakin nikmat dan
saya disuruh meliara baik-baik."
"Ah, tapi untuk yang begituan itu
saya dan suami saya sama sekali belum pernah, lho, Jeng. Tapi mungkin
ada baiknya untuk dicoba juga, ya, Jeng. Tapi tadi itu masalah yang situ
dijilatin punyanya. Rasa enaknya seperti apa, sih, Jeng."
"Wah, Bu Soni ini, kok, seperti kurang pergaulan saja, toh."
"Lho, terus terang Jeng. Memang saya belon pernah, kok."
"Ya, geli-geli begitulah. Susah juga untuk dijelasin kalo' belum pernah merasakan sendiri." Lalu kami berdua tertawa.
Setelah berhenti tertawa, aku bertanya, "Bu Soni mau tau rasanya kalau gituannya dijilati?"
"Yah, nanti saya rayu, deh, suami saya. Mungkin nikmat juga ya." Ucapnya sambil tersenyum.
"Apa perlu saya dulu yang coba?", tanyaku sambil bercanda dan tersenyum.
"Hush!! Jeng Mar ini ada-ada saja, ah", sambil tertawa.
"Ya, biar tidak kaget ketika dengan suaminya nanti. Kita 'kan juga sama-sama wanita."
"Wah, kayak lesbian saja. Nanti saya jadi ketagihan, lho. Malah
takutnya lebih senang sama situ daripada sama suami saya sendiri. Ih!
Malu' akh.", sambil tertawa.
"Atau kalo' nggak mau gitu, nanti saya
kasih tau gimana membuat penampilan bulu gituannya biar suaminya situ
tertarik. Kadang-kadang bentuk dan penataannya juga mempengaruhi
rangsangan suami, lho, Bu Soni."
"Ah, Jeng ini."
"Ee! Betul,
lho. Mungkin bentuk bulu-bulu gituannya Bu Soni penampilannya kurang
merangsang. Kalo' boleh saya lihat sebentar gimana?"
"Wah, ya,
gimana ya. Tapii.. ya boleh, deh. Eh, tapi saya juga boleh liat donk
punyanya situ. Sama-sama donk, 'kan kata Jeng tadi kita ini sama-sama
wanita.""Ya, 'kan saya cuma mau bantu situ supaya bisa usaha untuk punya
anak lagi.""Kalo' gitu kita ke kamar saja, deh. Suami saya juga
biasanya pulang malam. Yuk, Jeng."
Langsung kita berdua ke kamar
Bu Soni. Kamarnya cukup tertata rapi, tempat tidurnya cukup besar dan
dengan kasur busa. Di dindingnya ada tergantung beberapa foto Bu Soni
dan suaminya dan ada juga foto sekeluarga dengan anaknya yang masih
semata wayang. Saya kemudian ke luar sebentar untuk telepon ke rumah
kalau pulangnya agak telat karena ada urusan dengan perkumpulan ibu-ibu
dan kebetulan yang menerima suamiku sendiri dan ternyata dia setuju
saja.
Setelah kita berdua di kamar, Bu Soni bertanya kepadaku, "Bagaimana Jeng? Kira-kira siap?"
"Ayolah. Apa sebaiknya kita langsung telanjang bulat saja?"
"OK, deh.", jawab Bu Soni dengan agak tersenyum malu. Akhirnya kita
berdua mulai melepas pakaian satu-persatu dan akhirnya polos lah semua.
Bulu kemaluan Bu Soni cukup lebat juga hanya bentuknya keriting dan
menyebar, tidak seperti miliku yang lurus dan tertata dengan bentuk
segitiga ke arah bawah. Lalu aku menyentuh payudaranya yang agak bulat
tetapi tidak terlalu besar, "Lumayan juga, lho, Bu." Lalu Bu Soni pun
langsung memegang payudaraku juga sambil berkata, "Sama juga seperti
punya Jeng." Aku pun minta ijin untuk mengulum kedua payudaranya dan dia
langsung menyanggupi.
Kujilati kedua putingnya yang berwarna agak
kecoklat-coklatan tetapi lumayan nikmat juga. Lalu kujilati secara
keseluruhan payudaranya. Bu Soni nampak terangsang dan napasnya mulai
memburu. "Enak juga, ya, Jeng. Boleh punya Jeng saya coba juga?""Silakan
saja.", ijinku. Lalu Bu Soni pun melakukannya dan tampak sekali kalau
dia masih sangat kaku dalam soal seks, jilatan dan kulumannya masih
terasa kaku dan kurang begitu merangsang. Tetapi lumayanlah, dengan cara
seperti ini aku secara tidak langsung sudah menolong dia untuk bisa
mendapatkan anak lagi.
Setelah selesai saling menjilati payudara,
kami berdua duduk-duduk di atas tempat tidur berkasur busa yang cukup
empuk. Aku kemudian memohon Bu Soni untuk melihat liang kewanitaannya
lebih jelas, "Bu Soni. Boleh nggak saya liat gituannya? Kok bulu-bulunya
agak keriting. Tidak seperti milik saya, lurus-lurus dan lembut."
Dengan agak malu Bu Soni membolehkan, "Yaa.. silakan saja, deh, Jeng."
Aku menyuruh dia, "Rebahin saja badannya terus tolong kangkangin kakinya
yang lebar." Begitu dia lakukan semuanya terlihatlah daging kemaluannya
yang memerah segar dengan bibirnya yang sudah agak keluar dikelilingi
oleh bulu yang cukup lebat dan keriting. mm.. Cukup merangsang juga
penampilannya.
Kudekatkan wajahku ke liang kewanitaannya lalu
kukatakan kepada Bu Soni bahwa bentuk kemaluannya sudah cukup merangsang
hanya saja akan lebih indah pemandangannya bila bulunya sering disisir
agar semakin lurus dan rapi seperti milikku. Lalu kusentuh-sentuh daging
kemaluannya dengan tanganku, empuk dan tampak cukup terpelihara baik,
bersih dan tidak ada bau apa-apa. Nampak dia agak kegelian ketika
sentuhan tanganku mendarat di permukaan alat kelaminnya dan dia mengeluh
lirih, "Aduh, geli, lho, Jeng."
"Apa lagi kalo' dijilat, Bu Soni. Nikmat, deh. Boleh saya coba?"
"Aduh, gimana, ya, Jeng. Saya masih jijik, sih."
"Makanya dicoba.", kataku sambil kuelus salah satu pahanya.
"mm.. Ya, silakan, deh, Jeng. Tapi saya tutup mata saja, ah."
Lalu
kucium bibir kemaluannya sekali, chuph!! "aa.. Aah.", Bu Soni mengerang
dan agak mengangkat badannya. Lalu kutanya, "Kenapa? Sakit, ya?" Dia
menjawab, "Geli sekali." "Saya teruskan, ya?" Bu Soni pun hanya
mengangguk sambil tersenyum. Kuciumi lagi bibir kemaluannya berkali-kali
dan rasa geli yang dia rasakan membuat kedua kakinya bergerak-gerak
tetapi kupegangi kedua pangkal pahanya erat-erat. Badannya
bergerinjal-gerinjal, pantatnya naik turun. Uh! Pemandangan yang lucu
sekali, aku pun sempat ketawa melihatnya. Saya keluarkan lidah dan saya
sentuhkan ujungnya ke bibir kemaluannya berkali-kali. Oh! Aku semakin
terbawa napsu. Kujilati keseluruhan permukaan memeknya, gerakanku
semakin cepat dan ganas. Oh, Bu Soni, memekmu nikmaa..aat sekali.
Aku
sudah tak ingat apa-apa lagi. Semua terkonsentrasi pada pekerjaan
menjilati liang kewanitaan Bu Soni. Emm.., Enak sekali. Terus kujilati
dengan penuh napsu. Pinggir ke tengah dan gerakan melingkar. Kumasukan
lidahku ke dalam celah bibir kemaluannya yang sudah mulai membuka. Ouw!
Hangat sekali dan cairannya mulai keluar dan terasa agak asin dan baunya
yang khas mulai menyengat ke dalam lubang hidungku. Tapi aku tak
peduli, yang penting rasa kemaluan Bu Soni semakin lezat apalagi
dibumbui dengan cairan yang keluar semakin banyak. Kuoleskan ke seluruh
permukaan kemaluannya dengan lidahku. Jilatanku semakin licin dan
seolah-olah semua makanan yang ku makan pada saat acara arisan tadi
rasanya tidak ada apa-apanya. Badan Bu Soni bergerinjal semakin hebat
begitu juga pantatnya naik-turun dengan drastis. Dia mengerang lirih,
"aa.. Ah, ee.. Eekh, ee.. Eekh, Jee.. Eeng, auw, oo.. Ooh. Emm.. Mmh.
Hah, hah, hah,.. Hah." Dan saat mencapai klimaks dia merintih, "aa..,
aa.., aa.., aa.., aah", Cairan kewanitaannya keluar agak banyak dan
deras. OK, nampaknya Bu Soni sudah mencapai titik puncaknya.
Tampak Bu Soni telentang lemas dan aku tanya, "Bagaimana? Enak? Ada rasa puas?" "Lumayan nikmat, Jeng. Situ nggak jijik, ya."
"Kan sudah biasa juga sama suami." Kemudian aku bertanya sembari bercanda, "Situ mau coba punya saya juga?"
"Ah, Jeng ini. Jijik 'kan.", sembari ketawa.
"Yaa.. Mungkin belon dicoba. Punya saya selalu bersih, kok. 'Kan suami
saya selalu mengingatkan saya untuk memeliharanya." Kemudian Bu Soni
agak berpikir, mungkin ragu-ragu antara mau atau tidak. Lalu, "Boleh,
deh, Jeng. Tapi saya pelan-pelan saja, ah. Nggak berani lama-lama."
"Ya, ndak apa-apa. 'Kan katanya situ belum biasa. Betul? Mau coba?"
tantangku sembari senyum. Lalu dia cuma mengangguk. Kemudian aku
menelentangkan badanku dan langsung kukangkangkan kedua kakiku agar
terlihat liang kewanitaanku yang masih indah bentuknya. Tampak Bu Soni
mulai mendekatkan wajahnya ke liang kewanitaanku lalu berkata, "Wah,
Jeng bulu-bulunya lurus, lemas dan teratur. Pantes suaminya selalu
bergairah." Aku hanya tertawa.
Tak lama kemudian aku rasakan
sesuatu yang agak basah menyentuh kemaluanku. Kepalaku aku angkat dan
terlihat Bu Soni mulai berani menyentuh-nyentuhkan ujung lidahnya ke
liang kewanitaanku. Kuberi dia semangat, "Terus, terus, Bu. Saya merasa
nikmat, kok". Dia hanya memandangku dan tersenyum. Kurebahkan lagi
seluruh tubuhku dan kurasakan semakin luas penampang lidah Bu Soni
menjilati liang kewanitaan saya. Oh! Aku mulai terangsang. Emm.. Mmh. Bu
Soni sudah mulai berani. oo.. Ooh nikmat sekali. Sedaa.. Aap. Terasa
semakin lincah gerakan lidahnya, aku angkat kepalaku dan kulihat Bu Soni
sudah mulai tenggelam dalam kenikmatan, rupanya rasa jijik sudah mulai
sirna. Gerakan lidahnya masih terasa kaku, tetapi ini sudah merupakan
perkembangan. Syukurlah. Mudah-mudahan dia bisa bercumbu lebih hebat
dengan suaminya nanti.
Lama-kelamaan semakin nikmat. Aku merintih
nikmat, "Emm.. Mmh. Ouw. aa.. Aah, aa.. Aah. uu.. uuh. te.. te.. Rus
teruu..uus." Bibir kemaluanku terasa dikulum oleh bibir mulut Bu Soni.
Terasa dia menciumi kemaluanku dengan bernafsu. Emm.. Mmh, enaknya.
Untuk lebih nikmat Bu Soni kusuruh, "Pegang dan elus-elus paha saya.
Enak sekali Bu." Dengan spontan kedua tangannya langsung mengayunkan
elusannya di pahaku. Dia mainkan sampai pangkal paha. Bukan main! Sudah
sama layaknya aku main dengan suamiku sendiri. Terlihat Bu Soni sudah
betul-betul asyik dan sibuk menjilati liang kewanitaanku. Gerakan ke
atas ke bawah melingkar ke seluruh liang kewanitaanku. Seolah-olah dia
sudah mulai terlatih.
Kemudian aku suruh dia untuk menyisipkan
lidahnya ke dalam liang kewanitaanku. Dahinya agak berkerut tetapi
dicobanya juga dengan menekan lidahnya ke lubang di antara bibir
kemaluan saya. "Aaa.. Aakh! Nikmat sekali. Aku mulai naik untuk mencapai
klimaks. Kedua tangannya terus mengelus kedua pahaku tanpa henti. Aku
mulai naik dan terasa lubang kemaluanku semakin hangat, mungkin lendir
kemaluanku sudah banyak yang keluar. Akhirnya aku pun mencapai klimaks
dan aku merintih, "aa.. Aah, uuh".
Sialan Bu Soni tampaknya masih
asyik menjilati sedangkan badanku sudah mulai lemas dan lelah. Bu Soni
pun bertanya karena gerak kaki dan badanku berhenti, "Gimana, Jeng?" Aku
berkata lirih sambil senyum kepadanya, "Jempolan. Sekarang Bu Soni
sudah mulai pinter." Dia hanya tersenyum.
Aku tanya kembali, "Bagaimana? Situ masih jijik nggak?"
"Sedikit, kok.", jawabnya sembari tertawa, dan akupun ikut tertawa geli.
"Begitulah Bu Soni. Mudah-mudahan bisa dilanjutkan lebih mesra lagi dengan suaminya, tetapi jangan bilang, lho, dari saya."
"oo.., ya, ndak, toh, Jeng. Saya 'kan juga malu. Nanti semua orang tahu
bagaimana?""Sekarang yang penting berusaha agar putrinya bisa punya
adik. Kasihan, lho, mungkin sejak dulu dia mengharapkan seorang adik."
"Ya, mudah-mudahan lah, Jeng. Rejeki akan segera datang. Eh!
Ngomong-ngomong, Jeng mau nggak kalo' kapan-kapan kita bersama kayak
tadi lagi?"
"Naa.., ya, sudah mulai ketagihan, deh. Yaa, itu
terserah situ saja. Tapi saya nggak tanggung jawab, lho, kalo' situ
lantas bisa jadi lesbian juga. Saya 'kan cuma kasih contoh saja.",
jawabku sembari mengangkat bahu dan Bu Soni hanya tersenyum.
Kemudian
aku cepat-cepat berpakaian karena ingin segera sampai di rumah,
khawatir suamiku curiga dan berprasangka yang tidak-tidak. Waktu aku
pamit, Bu Soni masih dalam keadaan telanjang bulat berdiri di depan kaca
menyisir rambut. Untung kejadian ini tak pernah sampai terbuka sampai
aku tulis cerita yang aneh dan lucu ini. Soal bagaimana kemesraan Bu
Soni dan suaminya selanjutnya, itu bukan urusan saya tetapi yang penting
kelezatan liang kewanitaan Bu Soni sudah pernah aku rasakan.
TAMAT